(Post ini telah ditulis dan terpuruk di dalam draft lebih dari 7 bulan. Kini telah punya sedikit tambahan.)
Aku ingin menjauh. Terkadang ukhuwah menjadi pahit. Aku kenal itu dari dua tahun yang lalu. Sekarang aku insan yang bukan lagi seperti dulu. Tidak berharap dan mengharap. Terkadang aku terlalai dan mengharap, namun berkali-kali aku disedari bahawa aku patut kembali kuat bersendiri. Bukan bermaksud aku patut lari. Cuma aku perlu belajar menyintai diri. Mencintai itu perit jika seseorang yang kau cintai tidak mencintaimu sepertimana kau mencintainya. Kau mengharapkan pengorbanan yang sama darinya seperti mana kau melakukan dirinya? Jarang sekali. Atau terkadang kita mengharap kitalah manusia terpenting bagi dirinya. Namun dia mempunyai orang lain juga. Walau ya, dirimu penting baginya. Namun sepertimana dirimu, dirinya juga punya yang lain yang penting dalam hidupnya juga. Dan tidak. Aku tidak ingin menjadi orang ketiga. Sudah puas.
Aku tahu diriku. Aku tidak ingin menyakiti diriku. Aku tahu dimana batasku. Ketawa banyak hati menangis. Sudah puas. Aku tidak mengatakan aku lah orang yang paling menderita. Bukan. Aku paling akrab dengan sifat Umar R.A. Dia menginginkan justifikasi. Aku juga suka apabila sesuatu perkara itu adil dan saksama. Kalau bagiku ia tidak adil buat diriku, aku akan pergi.
Ukhuwah itu masih indah. Namun manusia memang tamak. Inginkan keprihatinan dari seseorang insan istimewa. Aku tidak mendapatnya dari ukhuwah sesama kerana masing-masing punya ukhti lain juga yang lebih 'special'. Aku tidak mengatakan aku tidak 'special'. Cuma aku cemburu dan aku tidak ingin tahu apabila bukan diriku yang menjadi nombor 1.
Jadi aku faham kenapa Allah menjadikan sifat manusia mencintai. Aku yang dahulu tidak ingin bercinta kini tahu kenapa Allah memberi seseorang itu pasangan. Kerana mereka akan saling cuba memahami. Dan akan memberikan perhatian khusus cinta tulus murni kepada yang satu. Aku menunggu itu.
Jadi aku lebih mencari tokoh-tokoh seperti Zainab al-Ghazali yang berdiri sendiri. Seperti Saad ibn Abi Waqqas yang setelah kemantapannya dihantar jauh untuk menyebarkan Islam. Nanti kita juga akan sendiri. Lebih baik aku menyendiri awal. Tapi aku bukan lari menjauh. Cuma aku lebih ingin berhati-hati menjaga hati dari dimakan bujukan hawa nafsu.
Memang cara ku menulis, membuatku seperti orang yang paling sedih didalam dunia namun ini cuma penulisan. Ketahuilah aku akan bangkit.
Aku teringat lirik lagu yang aku terkesankan dulu.
Nobody knows who I really am
I never felt this empty before
And if I ever need someone to come along
Who's gonna comfort me and keep me strong
We are all rowing the boat of fate
The waves keep on comin' and we can't escape
But if we ever get lost on our way
The waves would guide you through another day
Pembimbingku? Allah :) Aku tahu itu.
Pembaca yang ku kasihi sekalian, ukhuwah itu penting cuma terkadang kita tersilap langkah. Bila diri rasa tidak diiktiraf atau disayangi, hati mula meronta dan tanpa disedari jauh dari Allah, jauh dari orang-orang yang membawa kita dekat pada Allah, kerana kita mengharap pada si pembawa itu lebih dari Pencipta sang pembawa. Berhenti sejenak dan muhasabah! Perasaan itu tidak disangkal ada namun apakah ia akan membantu pejuang-pejuang Islam yang lainnya? Bukankah perasaan itu akan membebankan misi? Misi yang satu iaitu tauhid! Mengesakan Allah.
Jika dirimu terasa sakit akan hal begini, semak kembali sirah Rasulullah S.A.W, kisah khulafa Ar-Rasyidin, kisah para-para sahabah sahabiyah dan para tabi'en. Mereka cuma punya 'one track mind' untuk kemenangan Islam, dan bukan untuk melayan hawa nafsu semata. Kasih yang mereka inginkan cuma dari Allah. Kerana apabila kasih Allah tercapai, kasih manusia akan datang sewaktu dengannya.
"Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antaramu, nescaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar di antaramu, niscaya meraka dapat mengalahkan seribu orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika di antaramu ada seribu orang, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar."
(Al-Anfal : 65 - 66)
Bagaimana kita mampu berperang jika diri belum 'settle' dengan isu-isu kecil? Umat Islam selagi belum bersatu saf takkan mampu mengalahkan musuh. Wajarkah kita berkecil hati dan tidak berlapang dada dengan saudara Islam kita? Dan aku tidak bermaksud berperang yakni makna literal. Aku bermaksud perang jihad dengan ilmu dan diri. Kehidupan seharian kita. Adakah kita terlalu berbahagia dalam keindahan ukhuwah atau kita menjadi penggerak semangat untuk sekalian saudara untuk berbakti pada Ilah tercinta?
Bila aku membaca buku Abdul Latip Talib, tentang Khalid, tentang Al-Fateh, tentang Salahuddin dan lainnya, semangat ku meronta-ronta keapian. Dan ia membunuh segala rasa-rasa remeh di fikiran. Jadi kini aku ingin bangkit, menjadi pejuang Islam.
Seperti Khaulah Al-Azwar.